PEKANBARU - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bisa menulis kepercayaan dalam kolom di KTP. Putusan tersebut akan mengakomodasi sejumlah aliran kepercayaan dan penghayatan suku pedalaman yang ada di Riau.
"Keputusan MK harus dipatuhi semua komponen yang ada, terutama pemerintah daerah, dalam mengakomodasi aliran kepercayaan. Karena di Riau ini banyak juga suku pedalaman yang sebenarnya mereka selama ini punya keyakinan sendiri soal agama," kata antropolog Riau, Rawa El Amady, dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (7/11/2017).
Rawa menjelaskan setidaknya di Riau ada beberapa komunitas suku pedalaman. Selama ini, mereka mendapat tekanan politik dan ekonomi sehingga harus memeluk agama yang diakui pemerintah.
"Ada yang memeluk Islam atau Kristen karena tekanan politik dan ekonomi. Tapi sesungguhnya mereka dalam kesehariannya tetap meyakini agama nenek moyang mereka sendiri yang sudah turun-temurun. Cuma karena ada aturan hanya 7 agama yang diperbolehkan masuk kolom KTP selama ini, ya akhirnya mereka terpaksa harus memilih satu di antaranya," kata alumnus antropolog Universitas Indonesia (UI) itu.
Rawa mencatat penduduk pedalaman di Riau itu adalah suku Akit di Kab Kepulauan Meranti, suku Sakai di Kabupaten Siak, suku Talang Mamak di Kabupaten Inhu, suku Laut di Kab Inhil, dan sebagian lagi di Provinsi Kepri. Ada juga suku Hutan serta suku Bonai di Kab Rohul, Riau.
"Mereka sesungguhnya punya keyakinan dan aliran kepercayaan sendiri. Keyakinan asli dari Indonesia. Tapi selama ini justru negara hanya mengakui agama yang justru dari luar. Ini kan juga bentuk ketidakadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia dan saya menilai selama ini jelas bertentangan dengan UUD 1945," kata Rawa.
Menurut Rawa, dengan adanya putusan MK tersebut, ini menjadi kesempatan bagi suku asli di Riau mengungkapkan hak mereka untuk mengekspresikan keyakinan yang mereka miliki.
"Ada juga suku Petalangan di Kab Pelalawan, dulunya mereka punya keyakinan sendiri. Hanya saja sekarang mereka sudah memeluk Islam," kata Rawa.
Rawa menilai putusan MK sebagai langkah yang baik memberikan ruang kepada seluruh masyarakat Indonesia. Karena hak beragama itu, kata Rawa, adalah hak asasi yang melekat di setiap masyarakat.
"Hak asasi itu diakui dunia dan UUD 1945. Kalau saya sepakat dengan itu. Karena pembatasan soal agama sama saja menghilangkan hak-hak identitas agama yang sejak dulu sudah ada jauh sebelum 7 agama yang selama ini diakui di Indonesia," ujar Rawa,.
"Kalau tidak salah saya, tercatat secara nasional ada sekitar 145 kelompok di Indonesia ini yang menganut kepercayaan dan keyakinan itu," tutur Rawa.(nt/rd/tik)