CNN - Seorang wanita transgender mengungkapkan kisah memilukan bahwa dirinya diperkosa dan dilecehkan lebih dari 2.000 kali di sebuah penjara pria di Brisbane, Australia. Wanita dengan nama samaran Mary ini menyebut penderitaannya sebagai "neraka di bumi."
Mary memaparkan penggalan kisah hidupnya yang kelam ketika dia dibui selama empat tahun karena mencuri sebuah mobil.
Mary menjelaskan tindakan pelecehan dia terima sejak memasuki penjara Boggo Road Gaol, salah satu penjara yang terkenal paling kejam di Australia. Pengalamannya di bui sangat mengerikan sampai dia menyatakan "lebih baik mati ketimbang masuk penjara lagi."
"Pada dasarnya Anda dilindungi dengan imbalan seks," kata Mary, dikutip dari The Independent pada Selasa (19/4).
"Mereka akan mencoba memanipulasi Anda atau mengancam Anda untuk melakukan kontak seksual, dan sekali Anda menjalani ancaman mereka, maka Anda menjadi sasaran empuk karena orang lain juga ingin melakukan kontak seksual dengan Anda. Ini seperti pemerkosaan ketimbang hubungan seksual biasa," katanya.
"Ini membuat Anda merasa sakit tetapi Anda tidak memiliki cara untuk membela diri," ujar Mary.
Mary mengaku sempat berpindah penjara beberapa kali, namun menurutnya penjara Boggo Road Gaol merupakan penjara yang paling kejam, di mana dia paling banyak menerima pelecehan seksual.
Setelah gagal dalam melarikan diri, Mary dikategorikan sebagai narapidana yang 'berisiko tinggi.' Status ini membuatnya harus menjalani hukuman sebagai tahanan dengan keamanan maksimum bersama dengan sejumlah tahanan paling kejam.
"Saya dicambuk dan dipukuli sehingga saya mencapai satu titik ketika saya tahu saya harus melakukannya untuk bertahan hidup, namun pada dasarnya upaya saya untuk terus hidup merupakan kesenangan bagi tahanan lain," katanya.
"Itu seperti neraka di bumi, seolah-olah aku mati dan ini adalah hukuman saya," katanya.
Ketika dia menjalani semua siksaan ini, Mary juga mengungkapkan terdapat penolakan dari lingkungan penjara terhadap orientasi seksualnya. Dia terpaksa merelakan rambutnya dipotong oleh narapidana lain dan membiarkan kumisnya bertumbuh karena tidak lagi mengonsumsi obat pengendali hormon.
"Rasanya seperti identitas saya dibawa pergi dari saya," katanya.
Mary menilai tidak adil baginya untuk ditempatkan di penjara pria.
"Mereka pikir jika saya ditahan di penjara wanita, maka saya akan memperkosa wanita dan itu tidak masuk akal," kata Mary. "Saya lebih baik mati ketimbang masuk penjara," ujarnya.
Sebelum dinyatakan bersalah, dia tengah menjalani konsultasi panjang dengan seorang psikiater dan melakukan terapi hormon. Namun, dia belum menjalani operasi kelamin ketika dinyatakan bersalah, sehingga tak dapat dimasukkan ke penjara wanita.
"Saya terlihat seperti seorang wanita dan saya pikir jika Anda seorang transgender, maka Anda seharusnya ditempatkan di sebuah penjara perempuan," ujarnya.
"[Sehingga] Anda tidak harus menjalani kekerasan seksual. Anda bisa menjalani hukuman untuk kesalahan yang Anda buat dalam hidup Anda," katanya.
Mary menyatakan trauma yang dirasakannya di penjara hingga saat ini masih menghantuinya. Sejak dibebaskan, dia tidak lagi memiliki hubungan dengan laki-laki.
"Saya tidak percaya laki-laki dan tidak akan pernah percaya lagi selama hidup saya. Saya tidak menjalin hubungan dengan siapapun sejak keluar dari penjara," katanya.
"Kami [anggota komunitas transgender] adalah manusia dan sebagian besar dari kami dilahirkan seperti ini. Kami hanya ingin menjalani hidup, tetapi diejek oleh masyarakat hanya karena kami memiliki keberanian untuk menjadi diri sendiri," tuturnya. (nt/rd)