BAGANSIAPIAPI - Meski telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau dalam dugaan kasus korupsi proyek pengadaan jembatan Pedamaran yang bersumber dari anggaran APBD Rokan Hilir (Rohil) 2006, namun Mantan Sekda dan Kepala Bappeda Rohil Wan Amir Firdaus saat ini masih bebas berkeliaran, termasuk tersangka mantan dinas Bina Marga Rohil, Ibus Kasri yang saat ini aktif menjabat sebagai kepala Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pasar (DKPP) Kabupaten Rohil.
Wan Amir Firdaus telah ditetapkan menjadi tersangka oleh pihak Kejati Riau sejak 9 April 2015 lalu. bergitu juga tersangka Ibus Kasri di tetapkan tersangka tanggal 24 Oktober 2014. Tentu saja dengan berkeliaran secara bebas kedua tersangka itu, memicu keprihatinan sejumlah pihak termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kabupaten Rohil.
Ketua LSM Pemantau Pemberantasan Korupsi (PPK), Amat Saman T, di dampingi ketua LSM Lembaga Pemantau Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan (LP3L) Rohil, Azhar, Kamis (28/4) di Bagansiapiapi, mengaku sangat kuatir dengan lembaga Hukum yang menangani perkara jembatan pedamaran Rohil yang sudah menetapkan tersangka. namun hingga saat ini kasus tersebut belum jelas rimbanya. bahkan kedua tersangka yang sudah di tetapkan masih bebas berkeliaran. bahkan salah satu tersangka menjabat sebagai kepala Dinas.
“Kami sangat menyayangkan sikap Kejati Riau yang terkesan mengulur-ulur proses penanganan kasus tersebut (Pedamaran, red) ke pengadilan, dengan alasan masih memproses. parahnya tersangka yang mereka tetapkan masih berkeliaran bebas layaknya burung lepas dalam sangkar, ini ada apa?”ujar Amat Saman.
Menurut Saman, sudah seharusnya tersangka yang sudah ditetapkan lebih awal ditahan terlebih dahulu dan tidak perlu berlama-lama hingga waktu bertahun-tahun.“Sebetulnya ada apa ini? kenapa tidak ada kepastian sama sekali terhadap tersangka Wan Amir Firdaus dan Ibus Kasri? kedua tersangka di tetapkan sudah hampir setahun dan ada hampir dua tahun, namun sampai sekarang masih dengan santai menghirup udara bebas,” sesal Amat Saman.
Saman juga mengungkapkan, pihaknya sangat mempertanyakan kinerja Kejati Riau yang belum melakukan penahanan terhadap ke dua tersangka yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek jembatan kembar Pedamaran di Kabupaten Rohil.
“Dalam menetapkan seseorang jadi tersangka, penyidik pasti sudah memiliki alat bukti yang cukup. Jadi tidak ada alasan untuk tidak segera menahan ke dua tersangka,”tegas Saman.
Menurutnya lagi, penahanan terhadap tersangka sangat penting untuk meminimalisir munculnya konspirasi untuk mengaburkan kasus ini.“Jika tersangka masih belum ditahan, bisa saja dia bertemu dengan pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini,” ujarnya.
Dia juga menegaskan agar Kejati Riau menerapkan perlakukan hukum yang sama terhadap semua masyarakat.“Tunjukkan Kerja Kejaksaan serius dalam pemberantasan korupsi. Jangan sampai kepercayaan masyarakat terus menurun terhadap Kejaksaan, apa lagi kasus saat ini KPK telah menangkap oknum kejaksaan di Jakrta karna satu perkara, kita minta kejaksaan Riau jangan sampai seperti itu. masyarakat Riau khususnya Rohil sudah mempercayakan kasus jembatan pedamaran di ungkap oleh kejasaan,”harapnya.
Saman juga mendesak Kejaksaan agar mengusut tuntas kasus ini dan menjerat para pelaku yang terlibat didalamnya."jangan membedakan satu yang lainnya, kalau terlibat dan memiliki alat bukti harus di jerat dan di tahan. dan itu jangan terlalu lama dan berlarut-larut,"bebernya.
di Beritakan sebelumnya, Mantan Asisten II Sekdaprov Riau, Wan Amir Firdaus ditetapkan Kejaksaan Tinggi Riau sebagai tersangka korupsi. Penetapan Wan Amir dilakukan dalam kapasitasnya sebagai Kepala Bappeda Rokan Hilir dalam kasus pembangunan Jembatan Padamaran I dan Padamaran II.
Penetapan status ini tertuang dalam Surat Penetapan Tersangka No.Print-02/N.4/Fd.1/04/2015 Tanggal 9 April 2015. "Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau telah menetapkan mantan Kepala Bapeda Kabupaten Rokan Hilir tahun 2006, WAF (Wan Amir Firdaus, red) sebagai tersangka,"ujar Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) dan Humas) Kejati Riau, Mukhzan SH, Kamis (9/4/2015) waktu itu kepada wartawan.
Sementara itu, Dalam kasus ini juga, Kejati Riau telah menetapkan Ibus Kasri sebagai tersangka dalam kasus korupsi pembangunan Jembatan Pedamaran I dan II pada tahun 2008-2010.
Dimana dalam prosesnya, Ibus Kasri pada tahun 2012 menganggarkan Rp 66.241.327.000 dan Rp 38.993.938.000. Sementara tahun 2013 dianggarkan sebesar Rp 146.604.489.000.
Penganggaran itu tanpa dasar hukum yang jelas. Dan akibatnya negara dirugikan karena terjadi pengeluaran dana pembangunan jembatan tersebut yang seharusnya tidak dianggarkan atau dikeluarkan.
Kegiatan pembangunan proyek Jembatan Padamaran I dan II yang diawali dengan kegiatan Studi Kelayakan pada tahun 2006, tidak pernah di usulkan oleh SKPD terkait. Selain itu juga tidak melalui rapat Musrenbang Rohil. "Studi kelayakan tersebut masuk setelah RAPBD dikirim ke DPRD dan masuk pada saat rapat Banggar," paparnya.
Pada saat rapat dengan Banggar tersebut, Wan Amir memasukan kegiatan studi kelayakan ke Banggar. Selanjutnya Banggar menyetujui sehingga masuk menjadi kegiatan di APBD 2006."Tanggal 14 Desember 2006 PT Kita Abadi selaku Konsultan melakukan presentasi di hadapan WAF sebagai Pengguna Anggaran. Dengan kesimpulan hasil kajian studi kelayakan Jembatan padamaran tidak layak untuk dibangun,"jelas Mukhzan.
Meski sudah dinilai tidak layak, Wan Amir berusaha untuk memaksa Ketua Tim Leader supaya mengubah hasil kajian studi kelayakan menjadi layak."Namun PT Kita Abadi tetap membuat sesuai dengan hasil kerja di lapangan,"imbuhnya.
Dari hasil perkembangan penyidikan yang dilakukan, tim penyidik telah memperoleh sekurangnya dua alat bukti yang cukup berdasarkan ketentuan Pasal 184 KUHAP terkait adanya perbuatan melawan hukum yang dapat memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dilakukan oleh Wan Amir. ??Disimpulkan menetapkan WAF sebagai tersangka,?? terangnya.
Dalam laporan masyarakat disebutkan, kalau proyek yang menggunakan dana APBD 2008-2010 tersebut dikucurkan berdasarkan kesepakatan kontrak awal Nomor: 630/KONTRAK-JPI/MY/2008/47.80, dimana PT Waskita Karya menawarkan harga proyek itu sebesar Rp 422,48 miliar.
Kenyataannya, sebut Untung, anggaran yang turun lebih besar dari penawaran harga PT Waskita Karya. Pengerjaan Jembatan Pedamaran I dan II 2008-2010 seharusnya sudah selesai 66,48 persen.
Kenyataan di lapangan, pengerjaan pembuatan Pedamaran I baru 62,75 persen dengan dana Rp 147,40 miliar. Dari dana itu kerugian negara diduga mencapai Rp 8,77 miliar.
"Sedangkan untuk pembangunan Jembatan Pedamaran II, dana yang cair Rp 156,42 miliar dengan bobot pengerjaan harus mencapai 68,18 persen. Ternyata hasilnya baru 48,27 persen dengan jumlah dana Rp 110,75 miliar sehingga negara dirugikan Rp 45,67 miliar. Kalau ditotalkan, dari dua pembangunan jembatan tersebut, negara dirugikan mencapai Rp 54,44 miliar,"pungkas Mukhzan.(tim)